A W A L M U L A ... Saya selalu merasa bahwa perjalanan dan relasi antar manusia layaknya sebuah jalan yang panjang. Layaknya sebuah jalan yang tanpa ujung, kadang kita berjalan sejajar, bersisian langkah. Tapi kadang juga kita berjalan berlawanan arah, bahkan saling bersilang, bertemu di satu titik, untuk kemudian berpisah kembali. Tidak ada yang tahu pasti kapan jalan itu akan tetap lurus, menanjak, menurun, bahkan berkelok dan menikung tajam. Kisah manusia dalam perjalanan itupun tak pernah ada yang sama...Selalu ada sisi unik dan menarik dari setiap individu. Masing-masing membawa kisah dan takdirnya sendiri, entah itu manis, entah getir, bahkan pahit. Blog ini saya buat untuk mengabadikan semua kisah manusia itu. Ada yang merupakan kisah nyata, inspiratif, bahkan sekedar fiksi. Bersumber dari tulisan saya di FB, catatan-catan kecil di notepad, bahkan dari coretan2 di sepotong kertas. Tapi semuanya dalam alur yang sama....kisah manusia. Itulah mengapa, blog ini saya namakan Tutur = kisah ; dan Mahaparana = makhluk termulia. Kisah tentang makhluk Allah paling sempurna, khalifah di bumi....Tuturmahaparana...

Sabtu, 22 Februari 2014

P u t r i K e c i l k u

Seorang gadis kecil kelas 2 SD berjalan menembus hujan yang amat deras sore tadi. Tas ransel bergambar strawberry shortcake di punggungnya kelihatan agak terlalu besar, sementara payung merahnya yang kebesaran nyaris menutupi seluruh tubuhnya sampai punggung. Sepatu sandal yang dipakainya pasti sudah basah sedari tadi, karena berjalan menyusuri jalan yang tergenang air semata kaki.

Sendirian tanpa ada pejalan kaki lain, dalam deras hujan dan cuaca yang agak gelap, dia menyusuri gang demi gang dan jalan kampung. Langkahnya pasti, menuju TPA yang terletak 3 RT dari tempatnya tinggal. Sesekali gadis kecil itu menoleh, melambaikan tangan pada ibunya yang terus menatapnya dari depan gerbang rumah. Mulut mungilnya berteriak mengatasi suara hujan...bye bye mama, I love you ! Meneruskan langkah, menoleh lagi, dan berteriak lagi bye bye mama, I love you, yang dibalas ibunya dengan tawa dan lambaian tangan "kiss bye". Begitu terus...sampai gadis mungil itu menghilang di kelokan jalan. 

Sang ibu tertawa dan melambaikan tangan membalas teriakan anaknya dengan riang. Tetapi sesungguhnya airmatanya berlinang di tengah hujan. Siapalah yang tega melihat gadis kecilnya berjalan sendirian menembus deras dan dinginnya hujan ? Tapi Ia menguatkan hati sebisa-bisanya, melatih gadis kecil itu agar berani, mandiri, dan tetap semangat pergi mengaji dalam dinginnya hujan sekalipun. Ia ingin gadisnya tidak hanya cerdas dan pandai di sekolah, tapi juga punya bekal agama yang cukup untuk bekal hidupnya kelak. Tak akan selamanya dia dapat menjaga dan melindungi putri kecilnya itu... 

Sang ibu menghela nafas, menepis sekejab lamunannya, dan mengunci pintu gerbang rumah. Dengan langkah yang semakin lama semakin cepat, bahkan setengah berlari, disusurinya jalan yang tadi dilalui putri mungilnya. Cukup cepat, hingga di kejauhan dilihatnya sosok gadis kecil berpayung merah. Diikutinya dari jauh langkah-langkah kecil itu, sampai dipastikannya bahwa putri kecil kesayangannya sudah selamat sampai ke TPA-nya, tanpa pernah tahu bahwa ibunya selalu setia menemani langkah kakinya, mengikutinya dari belakang dengan segenap cinta untuknya...

Minggu, 22 Desember 2013

I b u S a r a s

Saya memanggilnya Ibu Saras, tapi orang lain dan anak-anak selalu memanggilnya dengan panggilan Tante Saras. Semula, Saya tak mengira ada yang istimewa dan luarbiasa dalam hidupnya. Ibu Saras adalah penjual makanan di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Setiap hari, dia menyetir mobil tuanya ke sekolah itu. Sendirian, dia menyusun meja, kursi, menurunkan tabung gas, kompor, dan aneka makanan dan bahan makanan dari mobilnya. 

Sampai suatu ketika, seseorang menceritakan kisah Ibu Saras pada Saya. Dulu, Ibu Saras adalah ibu rumahtangga biasa yang hanya disibukkan dengan mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Dengan karier bagus yang dimiliki sang suami, Ibu Saras hidup amat berkecukupun dan mapan. Punya rumah besar dengan halaman luas, dua buah mobil, dan 4 anak kecil-kecil yang berwajah rupawan dengan rentang usia TK sampai SD. Penampilan keluarga Ibu Saras pastilah menimbulkan kagum sekaligus iri pada sebagian orang yang melihatnya. Ayah yang tampan, Ibu yang cantik dengan penampilan modern, dan anak-anak lucu yang menyerupai model anak-anak di majalah-majalah, hidup tampak begitu sempurna.... 

Sampai tiba saatnya badai itu datang, dan roda berputar menukik ke bawah, tak lama setelah kelahiran si bungsu yang berkelamin laki-laki ( 3 anak sebelumnya perempuan)...Suami Ibu Saras kehilangan pekerjaannya...Dan sejak itu, musibah demi musibah, ujian demi ujian, datang seolah tanpa henti...Mulai dari uang pesangon dan tabungan yang terus menipis untuk bertahan hidup, salahsatu mobil bahkan hilang di parkiran ketika suaminya berusaha mencari pekerjaan baru, ditipu teman yang semula diandalkan menjadi rekan bisnis membangun usaha...Sungguh suatu hal yang amat berat untuk keluarga Ibu Saras yang terbiasa hidup enak. 

Tapi semua itu masih belum cukup...ada ujian terbesar dan terberat yang harus diterima seorang istri, seorang perempuan... Di tengah beban berat yang terus mendera, suami Ibu Saras menikah lagi dengan perempuan lain ! Tapi Ibu Saras tak bergeming...dihapusnya airmata, dan didatanginya rumah keluarga istri muda suaminya. Caci maki dan hinaan yang keluar dari mulut keluarga madunya, ditelannya dalam diam. Keluarga istri muda suaminya itu bahkan mencaci suaminya juga, karena dianggap tak berguna dan tak bisa menafkahi istri mudanya dengan layak sesuai harapan. Tapi perempuan tegar itu cuma berkata : “Kalau suami saya tak lagi dibutuhkan di sini, bolehkan dia saya bawa pulang ? Karena Saya dan anak-anak masih membutuhkan ayahnya....” 

Dan sejak itu, Ibu Saras banting stir, dia jual sedikit harta yang masih tersisa, dibelinya sebuah mobil tua dan beberapa meja kursi, dan mulai berjualan makanan di sekolah tempat anak-anaknya bersekolah...Sungguh pengorbanan luar biasa buat Ibu Saras, karena dia yang biasa naik turun mobil mengantar jemput anak-anaknya ke sekolah, rajin mentraktir sesama ibu-ibu yang sama-sama menunggu anaknya, kini harus menjadi penjual makanan di sekolah itu... 

Tapi Allah menjawab semua pengorbanan, ketegaran, dan ketekunannya selama ini. Meskipun terbilang agak mahal dibanding penjual lainnya, makanan Ibu Saras selalu habis terjual. Dari hasilnya berjualan, dia bisa menyewakan dan memodali suaminya berjualan mie ayam di lokasi yang tak jauh dari tempatnya berdagang. Dia juga berhasil melunasi seluruh tunggakan biaya sekolah ke 4 anaknya. Dalam kesempitan, dia juga bertekad membayari kuliah seorang keponakannya. 

Dan tahun lalu, ketika seorang anaknya telah menikah, dan 2 lainnya sudah bekerja, dan tanggungannya hanya tinggal si bungsu, Ibu Saras menunaikan ibadah haji...Allah sudah mengujinya dengan ujian demi ujian yang amat sangat berat yang bisa ditanggung seorang perempuan, seorang istri, seorang ibu...Dan Ibu Saras berhasil melewati semua itu...Allah mengganjar ketegarannya, ketabahannya, kesetiaannya, dan kerja kerasnya dengan pahala haji. 

Selamat hari ibu, Ibu Saras...saya amat sangat kagum dan bangga untukmu...Engkaulah salahsatu perempuan terhebat dan paling inspiratif yang pernah saya kenal....Bagi Saya, Engkaulah “mar’atu sholihah” – istri sholehah yang sesungguhnya...

Sabtu, 21 Desember 2013

L i n t a n g

Hujan. Lintang mengangkat kepala dari buku yang sedang ditekuninya, dan berjalan pelan menuju jendela. Dilukisnya dengan jemarinya aliran air yang menetes di birai jendela... Dinikmatinya suara tetes demi tetes air yang berlomba mencoba menembus kaca. Bian... sedang apakah laki-laki itu di saat hujan seperti ini ? Memeluk dan mendekap istrinya, atau sibuk merajut asa esok hari ? Puluhan tahun terlewati, ternyata cinta itu tak pernah mati. Dalam diam dibekukan waktu, ternyata dia tertidur dan terus tumbuh.... Dan sekarang semuanya kembali hidup, berbalut kebencian dan amarah yang amat sangat. Dan Lintang terperangkap antara cinta dan benci selamanya, tanda daya....

S u d u t M e n a n g i s


Nasib dan perjalanan hidup membuat Saya menjadi anak tunggal Ibu. Di rumah, Saya tumbuh di tengah orang-orang dewasa yang kadang tidak mengerti bahwa seorang anakpun bisa punya rasa sedih, takut, kecewa, bahkan kesepian. Pada masa-masa itu, belasan pohon besar yang tumbuh di kebun seluas 4300 meter persegilah yang menjadi "sudut menangis" pertama Saya. Diganggu teman, dimarahi Ibu, atau saat merindukan Ayah, Saya selalu lari ke balik salah satu pohon besar itu dan menghabiskan tangis dalam diam di sana... 

Beranjak remaja, pada masa SMA, Saya punya sudut menangis yang lain. Masa itu, ketika orang-orang serumah sudah lelap tertidur, Saya menghabiskan tangis di sudut bawah jendela, antara dinding dan kepala tempat tidur. Sudut kecil yang cuma cukup untuk Saya duduk menekuk lutut, menangis tanpa suara, meratapi lembar demi lembar kertas fotocopy yang aslinya berwarna kuning. 

Ketika mulai kuliah, Saya kembali menemukan sudut menangis yang lain. Meja paling pojok di perpustakaan kampus adalah sudut favorit Saya untuk menangis. Tak pernah mengganggu pengunjung lain, karena tak pernah ada isak yang keluar. Hanya tetesan air yang setetes demi setetes membasahi buku yang Saya baca...Di masa SMA dan masa kuliah itu, juga ada sudut untuk menangis yang lain. Hutan, gunung, dan kadang laut dan desa-desa terpencil lah yang menjadi saksi tangis penyesalan yang rasanya tak kunjung ada akhirnya. 

Kurun waktu setelah bekerja, menikah, dan mempunyai anak, Saya tak lagi punya sudut menangis. Entah karena merasa sudah cukup kuat menghadapi hidup, atau karena merasa sudah terlalu tua, dan tak lagi pantas, atau karena merasa tak lagi membutuhkannya... 

Tetapi...ketika hari ini Saya merasa begitu terluka dan sakit, seperti binatang yang terluka dan sekarat, Saya begitu ingin rasanya menggali lubang, dan kembali menemukan sudut menangis Saya...

A l d a ...

Di KRL ekonomi jurusan Bogor - Jakarta, saya duduk di sebelah Alda, seorang waria. Di mulai dengan saling melempar senyum, akhirnya kami terlibat obrolan tentang berbagai hal, istimewanya tentang hidupnya dan kehidupannya sebagai pengamen jalanan. Sepanjang obrolan, Alda terus sambil bersolek. Menambahkan lem pada bulu mata palsunya, membedaki hidung, menebalkan alis, bahkan sambil mencabuti jenggot dan bulu-bulu di dekat jakunnya. 

Di ujung obrolan, Alda minta didoakan agar "ngamennya rame" hari itu. Kami berpisah menjelang stasiun Pondok Cina. Menjelang turun, saya masih sempat melayangkan pandang ke arahnya. Alda ternyata sudah langsung tertidur lelap. Wajah manis bulat telurnya tampak lelah tapi cantik, imut, dan tanpa dosa. Mendadak, saya merasa "sayang" sekali padanya....Masih jauh perjalanannya menuju stasiun Jakarta Kota. 

Entah kenapa, pertemuan dan obrolan dengan Alda meninggalkan kesan yang kuat pada saya. Ah, Alda dan Alda2 lainnya...siapakah yang akan menyayangi kalian ? Kaum yang terbuang dan terpinggirkan, tapi tetap tangguh meniti hidup...

R A P U H ...

Ragaku, cuma seonggok daging dan segumpal darah. 
Dan jiwaku tersusun dari kepingan-kepingan kaca. 
Serapuh dan sesetia itu, jangan kau sentuh, jika tak ingin....
Karena seumur hidup itu waktu yang sangat lama....

Jumat, 13 Desember 2013

P a k M a m a n

Bosan menunggu KRL ekonomi tujuan Jakarta yang tak kunjung datang sore tadi, di stasiun Bojong Gede saya menghampiri seorang pedagang asongan yang menjual kripik singkong di peron stasiun. Memulai percakapan dengan menanyakan harga jualannya, Pak Maman, lelaki ringkih 53 tahun itu bercerita : Setiap hari dia membawa 250 bungkus kripik yang diambilnya dari tetangga. Bungkus besar keuntungannya 1000 rupiah, bungkus kecil 200 rupiah. Setiap hari dia mulai berjualan jam 8 pagi, sampai larut malam sampai kereta terakhir menuju Bogor, jam 22.30 malam.

Dengan waktu berjualan sepanjang itu, Pak Maman mampu menjual setara dengan 200 bungkus kecil, atau dengan keuntungan maksimal 40 ribu rupiah per hari. Jumlah yang sangat minim untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, karena Pak Maman masih menanggung hidup 5 anak dan satu orang istri. Dua anak tertuanya sudah menikah... 

Wajahnya tampak amat sangat masgul, ketika ditanyakan soal sekolah anak2nya, karena nyaris semuanya putus sekolah. Ketiadaan membuat anak-anaknya malas bersekolah. Hmmm...bagi sebagian dari kita, naik KRL ekonomi atau berbicara dengan orang2 seperti Alda dan Pak Maman adalah suatu hal yang tak terbayangkan. Tapi bagi saya, di situlah tempat saya melihat sisi lain kehidupan, dan belajar untuk tidak henti-hentinya mensyukuri hidup yang diberi oleh-Nya...