A W A L M U L A ... Saya selalu merasa bahwa perjalanan dan relasi antar manusia layaknya sebuah jalan yang panjang. Layaknya sebuah jalan yang tanpa ujung, kadang kita berjalan sejajar, bersisian langkah. Tapi kadang juga kita berjalan berlawanan arah, bahkan saling bersilang, bertemu di satu titik, untuk kemudian berpisah kembali. Tidak ada yang tahu pasti kapan jalan itu akan tetap lurus, menanjak, menurun, bahkan berkelok dan menikung tajam. Kisah manusia dalam perjalanan itupun tak pernah ada yang sama...Selalu ada sisi unik dan menarik dari setiap individu. Masing-masing membawa kisah dan takdirnya sendiri, entah itu manis, entah getir, bahkan pahit. Blog ini saya buat untuk mengabadikan semua kisah manusia itu. Ada yang merupakan kisah nyata, inspiratif, bahkan sekedar fiksi. Bersumber dari tulisan saya di FB, catatan-catan kecil di notepad, bahkan dari coretan2 di sepotong kertas. Tapi semuanya dalam alur yang sama....kisah manusia. Itulah mengapa, blog ini saya namakan Tutur = kisah ; dan Mahaparana = makhluk termulia. Kisah tentang makhluk Allah paling sempurna, khalifah di bumi....Tuturmahaparana...

Minggu, 22 Desember 2013

I b u S a r a s

Saya memanggilnya Ibu Saras, tapi orang lain dan anak-anak selalu memanggilnya dengan panggilan Tante Saras. Semula, Saya tak mengira ada yang istimewa dan luarbiasa dalam hidupnya. Ibu Saras adalah penjual makanan di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Setiap hari, dia menyetir mobil tuanya ke sekolah itu. Sendirian, dia menyusun meja, kursi, menurunkan tabung gas, kompor, dan aneka makanan dan bahan makanan dari mobilnya. 

Sampai suatu ketika, seseorang menceritakan kisah Ibu Saras pada Saya. Dulu, Ibu Saras adalah ibu rumahtangga biasa yang hanya disibukkan dengan mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Dengan karier bagus yang dimiliki sang suami, Ibu Saras hidup amat berkecukupun dan mapan. Punya rumah besar dengan halaman luas, dua buah mobil, dan 4 anak kecil-kecil yang berwajah rupawan dengan rentang usia TK sampai SD. Penampilan keluarga Ibu Saras pastilah menimbulkan kagum sekaligus iri pada sebagian orang yang melihatnya. Ayah yang tampan, Ibu yang cantik dengan penampilan modern, dan anak-anak lucu yang menyerupai model anak-anak di majalah-majalah, hidup tampak begitu sempurna.... 

Sampai tiba saatnya badai itu datang, dan roda berputar menukik ke bawah, tak lama setelah kelahiran si bungsu yang berkelamin laki-laki ( 3 anak sebelumnya perempuan)...Suami Ibu Saras kehilangan pekerjaannya...Dan sejak itu, musibah demi musibah, ujian demi ujian, datang seolah tanpa henti...Mulai dari uang pesangon dan tabungan yang terus menipis untuk bertahan hidup, salahsatu mobil bahkan hilang di parkiran ketika suaminya berusaha mencari pekerjaan baru, ditipu teman yang semula diandalkan menjadi rekan bisnis membangun usaha...Sungguh suatu hal yang amat berat untuk keluarga Ibu Saras yang terbiasa hidup enak. 

Tapi semua itu masih belum cukup...ada ujian terbesar dan terberat yang harus diterima seorang istri, seorang perempuan... Di tengah beban berat yang terus mendera, suami Ibu Saras menikah lagi dengan perempuan lain ! Tapi Ibu Saras tak bergeming...dihapusnya airmata, dan didatanginya rumah keluarga istri muda suaminya. Caci maki dan hinaan yang keluar dari mulut keluarga madunya, ditelannya dalam diam. Keluarga istri muda suaminya itu bahkan mencaci suaminya juga, karena dianggap tak berguna dan tak bisa menafkahi istri mudanya dengan layak sesuai harapan. Tapi perempuan tegar itu cuma berkata : “Kalau suami saya tak lagi dibutuhkan di sini, bolehkan dia saya bawa pulang ? Karena Saya dan anak-anak masih membutuhkan ayahnya....” 

Dan sejak itu, Ibu Saras banting stir, dia jual sedikit harta yang masih tersisa, dibelinya sebuah mobil tua dan beberapa meja kursi, dan mulai berjualan makanan di sekolah tempat anak-anaknya bersekolah...Sungguh pengorbanan luar biasa buat Ibu Saras, karena dia yang biasa naik turun mobil mengantar jemput anak-anaknya ke sekolah, rajin mentraktir sesama ibu-ibu yang sama-sama menunggu anaknya, kini harus menjadi penjual makanan di sekolah itu... 

Tapi Allah menjawab semua pengorbanan, ketegaran, dan ketekunannya selama ini. Meskipun terbilang agak mahal dibanding penjual lainnya, makanan Ibu Saras selalu habis terjual. Dari hasilnya berjualan, dia bisa menyewakan dan memodali suaminya berjualan mie ayam di lokasi yang tak jauh dari tempatnya berdagang. Dia juga berhasil melunasi seluruh tunggakan biaya sekolah ke 4 anaknya. Dalam kesempitan, dia juga bertekad membayari kuliah seorang keponakannya. 

Dan tahun lalu, ketika seorang anaknya telah menikah, dan 2 lainnya sudah bekerja, dan tanggungannya hanya tinggal si bungsu, Ibu Saras menunaikan ibadah haji...Allah sudah mengujinya dengan ujian demi ujian yang amat sangat berat yang bisa ditanggung seorang perempuan, seorang istri, seorang ibu...Dan Ibu Saras berhasil melewati semua itu...Allah mengganjar ketegarannya, ketabahannya, kesetiaannya, dan kerja kerasnya dengan pahala haji. 

Selamat hari ibu, Ibu Saras...saya amat sangat kagum dan bangga untukmu...Engkaulah salahsatu perempuan terhebat dan paling inspiratif yang pernah saya kenal....Bagi Saya, Engkaulah “mar’atu sholihah” – istri sholehah yang sesungguhnya...

Sabtu, 21 Desember 2013

L i n t a n g

Hujan. Lintang mengangkat kepala dari buku yang sedang ditekuninya, dan berjalan pelan menuju jendela. Dilukisnya dengan jemarinya aliran air yang menetes di birai jendela... Dinikmatinya suara tetes demi tetes air yang berlomba mencoba menembus kaca. Bian... sedang apakah laki-laki itu di saat hujan seperti ini ? Memeluk dan mendekap istrinya, atau sibuk merajut asa esok hari ? Puluhan tahun terlewati, ternyata cinta itu tak pernah mati. Dalam diam dibekukan waktu, ternyata dia tertidur dan terus tumbuh.... Dan sekarang semuanya kembali hidup, berbalut kebencian dan amarah yang amat sangat. Dan Lintang terperangkap antara cinta dan benci selamanya, tanda daya....

S u d u t M e n a n g i s


Nasib dan perjalanan hidup membuat Saya menjadi anak tunggal Ibu. Di rumah, Saya tumbuh di tengah orang-orang dewasa yang kadang tidak mengerti bahwa seorang anakpun bisa punya rasa sedih, takut, kecewa, bahkan kesepian. Pada masa-masa itu, belasan pohon besar yang tumbuh di kebun seluas 4300 meter persegilah yang menjadi "sudut menangis" pertama Saya. Diganggu teman, dimarahi Ibu, atau saat merindukan Ayah, Saya selalu lari ke balik salah satu pohon besar itu dan menghabiskan tangis dalam diam di sana... 

Beranjak remaja, pada masa SMA, Saya punya sudut menangis yang lain. Masa itu, ketika orang-orang serumah sudah lelap tertidur, Saya menghabiskan tangis di sudut bawah jendela, antara dinding dan kepala tempat tidur. Sudut kecil yang cuma cukup untuk Saya duduk menekuk lutut, menangis tanpa suara, meratapi lembar demi lembar kertas fotocopy yang aslinya berwarna kuning. 

Ketika mulai kuliah, Saya kembali menemukan sudut menangis yang lain. Meja paling pojok di perpustakaan kampus adalah sudut favorit Saya untuk menangis. Tak pernah mengganggu pengunjung lain, karena tak pernah ada isak yang keluar. Hanya tetesan air yang setetes demi setetes membasahi buku yang Saya baca...Di masa SMA dan masa kuliah itu, juga ada sudut untuk menangis yang lain. Hutan, gunung, dan kadang laut dan desa-desa terpencil lah yang menjadi saksi tangis penyesalan yang rasanya tak kunjung ada akhirnya. 

Kurun waktu setelah bekerja, menikah, dan mempunyai anak, Saya tak lagi punya sudut menangis. Entah karena merasa sudah cukup kuat menghadapi hidup, atau karena merasa sudah terlalu tua, dan tak lagi pantas, atau karena merasa tak lagi membutuhkannya... 

Tetapi...ketika hari ini Saya merasa begitu terluka dan sakit, seperti binatang yang terluka dan sekarat, Saya begitu ingin rasanya menggali lubang, dan kembali menemukan sudut menangis Saya...

A l d a ...

Di KRL ekonomi jurusan Bogor - Jakarta, saya duduk di sebelah Alda, seorang waria. Di mulai dengan saling melempar senyum, akhirnya kami terlibat obrolan tentang berbagai hal, istimewanya tentang hidupnya dan kehidupannya sebagai pengamen jalanan. Sepanjang obrolan, Alda terus sambil bersolek. Menambahkan lem pada bulu mata palsunya, membedaki hidung, menebalkan alis, bahkan sambil mencabuti jenggot dan bulu-bulu di dekat jakunnya. 

Di ujung obrolan, Alda minta didoakan agar "ngamennya rame" hari itu. Kami berpisah menjelang stasiun Pondok Cina. Menjelang turun, saya masih sempat melayangkan pandang ke arahnya. Alda ternyata sudah langsung tertidur lelap. Wajah manis bulat telurnya tampak lelah tapi cantik, imut, dan tanpa dosa. Mendadak, saya merasa "sayang" sekali padanya....Masih jauh perjalanannya menuju stasiun Jakarta Kota. 

Entah kenapa, pertemuan dan obrolan dengan Alda meninggalkan kesan yang kuat pada saya. Ah, Alda dan Alda2 lainnya...siapakah yang akan menyayangi kalian ? Kaum yang terbuang dan terpinggirkan, tapi tetap tangguh meniti hidup...

R A P U H ...

Ragaku, cuma seonggok daging dan segumpal darah. 
Dan jiwaku tersusun dari kepingan-kepingan kaca. 
Serapuh dan sesetia itu, jangan kau sentuh, jika tak ingin....
Karena seumur hidup itu waktu yang sangat lama....

Jumat, 13 Desember 2013

P a k M a m a n

Bosan menunggu KRL ekonomi tujuan Jakarta yang tak kunjung datang sore tadi, di stasiun Bojong Gede saya menghampiri seorang pedagang asongan yang menjual kripik singkong di peron stasiun. Memulai percakapan dengan menanyakan harga jualannya, Pak Maman, lelaki ringkih 53 tahun itu bercerita : Setiap hari dia membawa 250 bungkus kripik yang diambilnya dari tetangga. Bungkus besar keuntungannya 1000 rupiah, bungkus kecil 200 rupiah. Setiap hari dia mulai berjualan jam 8 pagi, sampai larut malam sampai kereta terakhir menuju Bogor, jam 22.30 malam.

Dengan waktu berjualan sepanjang itu, Pak Maman mampu menjual setara dengan 200 bungkus kecil, atau dengan keuntungan maksimal 40 ribu rupiah per hari. Jumlah yang sangat minim untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, karena Pak Maman masih menanggung hidup 5 anak dan satu orang istri. Dua anak tertuanya sudah menikah... 

Wajahnya tampak amat sangat masgul, ketika ditanyakan soal sekolah anak2nya, karena nyaris semuanya putus sekolah. Ketiadaan membuat anak-anaknya malas bersekolah. Hmmm...bagi sebagian dari kita, naik KRL ekonomi atau berbicara dengan orang2 seperti Alda dan Pak Maman adalah suatu hal yang tak terbayangkan. Tapi bagi saya, di situlah tempat saya melihat sisi lain kehidupan, dan belajar untuk tidak henti-hentinya mensyukuri hidup yang diberi oleh-Nya...

B i n t a n g

"Bintang" pelan, dengan tatap ragu dan tak percaya diri kau sebutkan namamu ketika kutanya. Kemudian, dengan suara lirih dan tercekat, kau jawab pertanyaanku dengan, "kelas enam" dan seketika seperti ada yang menusuk hatiku... Ah, Bintang... Engkau berbohong, Nak. Ayahmu bilang, kau masih kelas empat, sama dengan adikmu, karena kau sudah dua kali tinggal kelas... Di usiamu yang sekarang, engkau bahkan belum lancar membaca. 

Aku tahu kau memang tak sepandai seharusnya anak seusiamu... Tapi yang kusedihkan adalah nasibmu, kutangisi orang-orang terdekat yang tak mengertimu... Kekerasan fisik dan kata-kata kasar yang kerap terlontar dari pembantu rumahmu, ibu yang menyibukkan diri dengan karirnya, ayah yang sibuk menyenangkan istri muda dan kekasih hatinya...

Bahkan kutangisi gurumu, yang menempatkanmu sekelas dengan adikmu, selalu membandingkan kalian, dan membuatmu selalu berada dalam bayang2 sang adik, dan semakin tak percaya diri... Ah, Bintang...tetaplah tegar dan tabah, aku akan selalu memeluk, menghibur, dan menjagamu dari jauh... Aku tak punya hak apapun terhadapmu, Bintaaang... Tapi ku mohon, ku harap, tetaplah bersinar walau awan gelap menutupimu... Tetaplah menjadi Bintang yang terang bersinar, karena namakulah yang ayahmu berikan untukmu

K e r l i p K e c i l

Ijinkan aku mencintaimu selamanya 
Meski hanya sebatas angan, dan di batas impian.
Aku ingin menyimpanmu dalam hatiku, selamanya, 
Dan menjadikan cinta itu pelita dalam jiwaku. 
Meskipun hanya kerlip kecil, 
Kuharap itu terangi langkahku, hangatkan hatiku, 
kuatkan diriku 
Untuk berani meniti hidup ini...

P a k M a r t o

Di depan Gedung BNI 46 Jakarta Kota, ada Pak Marto, seorang penjual minuman botol kaki lima. Yang menonjol darinya adalah sosok kecil dengan kulit amat legam. Perkenalan dengannya terjadi lebih kurang 18 tahun yang lalu. Ketika itu, Saya dan seseorang sering sekali menghabiskan waktu dengan menaiki Patas AC 15 jurusan Depok – Jakarta Kota. Kadang 1 rit, 2 rit, bahkan lebih Kami naiki bis itu. Bolak balik- bolak balik seolah waktu tak lagi punya arti... Perhentian terakhir bis itu di Jakarta Kota adalah persis di tempat Pak Marto berdagang. Maka, di situlah Kami mengenalnya, karena Kami selalu mampir duduk minum di tempatnya. 

“Pasangan aneh” canda Pak Marto mengomentari hobby dan penampilan Kami suatu ketika... Betapa tidak, karena yang laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, berambut panjang amat tebal dan hitam, serta nyaris selalu di ekor kuda. Sementara yang perempuan justru bertubuh kecil, ceking, berambut tipis dan super pendek, dengan tas ransel yang selalu menempel di punggung, dan bersepatu basket model boot merk NxKE AxR putih. 

Tahun demi tahun berlalu, setelah lulus kuliah, bekerja, dan bahkan menikah, jika ada keperluan ke daerah Jakarta Kota, Saya selalu menyempatkan diri “menjenguk” Pak Marto, sekedar ingin melihat dan menyapanya. Waktu terus berjalan, dan laki-laki gondrong berwajah oriental itu sekarang mulai dikenal sebagai wartawan senior di sebuah harian terkenal di ibukota. Dan Kami pun tak pernah lagi bertemu. Tapi dari Pak Marto lah, Kami saling mendengar kabar masing-masing...Karena ternyata Dia pun sesekali menyempatkan diri menengok Pak Marto. 

Bus Patas AC 15 sudah lama sekali tak lagi ada, tapi Pak Marto selalu setia, tetap berdagang di tempat itu...Dan segala sesuatu pasti ada akhirnya... Pertemuan Saya kemarin dengan Pak Marto, mungkin adalah pertemuan terakhir Saya dengannya. Ketika kemarin Saya kembali menyambanginya, Pak Marto pamit, bulan ini adalah bulan terakhir Dia berdagang di tempat itu. Setelah hampir 30 tahun berjualan di tempat itu, akhirnya Pak Marto memutuskan untuk berhenti berdagang, pensiun, dan pulang kampung... 

Setelah saling menukar nomor telepon dan alamat, dan memberikan nomor telepon dan alamat teman laki-laki Saya dulu itu, Saya pun pulang, dengan hati sedih dan kurang bersemangat, karena kehilangan lagi seorang “kawan”, seseorang yang meskipun jarang bertemu, tapi selalu ada dalam ingatan... Pak Marto mungkin hanya seorang tukang minuman, laki-laki renta yang tak jelas asal usulnya. Tapi dalam hati kecil Saya, Pak Marto lah salah satu kawan setia....

L u k a

Ketika hatimu terluka begitu dalam, hingga kau tak lagi dapat rasakan sakitnya...Bahkan darah yang mengalir dari luka itupun tak dapat kau hentikan, maka menangislah dalam diam. Membekulah...seperti batu yang perlahan ditumbuhi lumut, ditiup angin, dan digerus panas dan hujan....Hancurlah secara perlahan...sedikit demi sedikit menjadi tanah, dan akhirnya menjelma jadi debu yang tak lagi nyata terlihat...

3 6 5 H A R I . . .

Seperti juga kelahiran, kematian adalah mutlak rahasia Allah, yang bahkan mungkin telah tertulis sejak ruh ditiupkan. Hanya kita yang tak pernah mengerti kapan saat itu tiba, merasa bahwa semuanya serba terlalu cepat, terlalu mendadak... Tapi...365 hari sejak kepergiannya, masih selalu ada gemuruh tangis yang tak kunjung henti.

Orang mengenalnya sebagai sosok Ketua RW terlama di lingkungan kami. Sosok kharismatik yang menjadi pengayom disetiap aneka permasalahan dan sengketa warga. Seorang prajurit Angkatan Darat yang tegas dan berwibawa.

Tapi untuk keluarga besar kami, perannya jauh lebih dari itu. Saya mengenalnya sejak kanak-kanak. Beliau menjadi bagian keluarga, bahkan sejak kakek buyut saya masih hidup. Dan sepanjang ingatan, nyaris selalu ada beliau dalam setiap acara penting keluarga besar kami. Pertunangan dan pernikahan para paman dan bibi, dan kemudian satu persatu, para sepupu. Bahkan pada saat saya menikah Beliau rela hanya menghadiri acara akad nikah keponakannya, lalu langsung berangkat kembali menempuh perjalanan jauh di malam hari, hanya agar bisa hadir tepat pada saat saya menikah.

Maka tak heran, ketika menikah dan kemudian pindah di belakang rumahnya (tadinya rumah kami berseberangan jalan dan berbeda RT), ketika ada kesempatan menata halaman...hal pertama yang saya lakukan adalah membuat jalan setapak untuk menghubungkan pintu dapurnya dengan teras rumah kami. Ada pintu besi kecil yang menghubungkan halaman kami. Lewat pintu kecil itulah kami berbagi sapa dan cerita, bahkan penganan dan tamu...Kenapa tamu ? Karena Beliau mengenal hampir semua kerabat tamu saya, dan kerap kami undang Beliau untuk datang bergabung untuk mengobrol bersama.

Dan sejak itu juga, Beliaulah tetangga terbaik, pengganti ayah kandung, bahkan sahabat terdekat saya...Mulai dari operasi Yazid, Mutiara sakit, perjalanan Hiyo ke LN, penjagaan rumah, kehilangan sesuatu, masalah batas kebun dengan tetangga, bahkan pada akhirnya prahara besar pada keluarga kami...tak luput dari pengetahuannya. Selalu ada Beliau untuk memberi nasehat, pandangan, dan penguat...

Setahun berlalu, rasa sakit harus merelakan Beliau berpulang, tak juga kunjung reda. Sering, dalam masa-masa senang dan masa-masa sulit, saya amat sangat merindukan sosoknya...365 hari telah lewat, tak pernah sekalipun jika pergi saya lupa untuk berpaling ke teras depan rumahnya, ( ini tempat favorit keduanya setelah teritisan dapur yang menyambung dengan teras saya ) tempat Beliau biasa duduk menerima tamu atau sekedar menghabiskan waktu. Berharap kali ini saya dapat menemukan sosoknya di sana. Saya rindukan suaranya, saya rindukan tawa dan senyumnya, bahkan saya rindukan juga bunyi sapu lidinya ketika menyapu halaman rumah...

Cuma doa satu-satunya cara saya untuk menunjukkan cinta dan hormat padanya sekarang. Semoga Allah selalu mendengar doa yang selalu saya ucapkan untuknya, agar Allah benar-benar menyayanginya, menerima dan menjamunya di dalam Surga...Aamiin.